JAKARTA – tragedi yang berkesudahan p terlihat korban jiwa serta kemalangan harta barang terjalin di bermacam kawasan nusantara. pemecahan malapetaka tidak terbebas dari kedudukan aktif pentaheliks, salah satunya komponen gereja berselevel komunitasnya.
Kepala institut Nasional pemecahan tragedi (BNPB) Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) dokter. (H.C.) Doni Monardo menyatakan perihal itu dalam wawancara Nasional Hurbeliau Kristen Batak Protestant (HKBP) dengan cara virtual p terlihat Senin (17/5). bagi Doni dalam kerja sama pentaheliks, gereja mempunyai kedudukan besar buat meninggikan pemahaman bersama-sama.
Doni menekankan kalau literasi kemalapetakaan sungguh berarti di informasikan terhadap rakyat alhasil rakyat mampu menyikapi tiap intimidasi kerawanan. Penyampaian memo kemalapetakaan ini wajib tetap merasuk didatakan gereja terhadap rakyat. Doni memohon HKBP henti buat menyatakan informasi kemalapetakaan atau melindungi kesesuaian dengan daerah tiap ketika.
berdialog perihal kondisi Sumatera Utara, Doni menyatakan kalau provinsi ini mempunyai bermacam kemampuan kerawanan yang diklasterkan dalam malapetaka ilmu bumi serta vulkanologi, hidrometeorologi kering, hidrometeorologi bersimbah serta malapetaka nonalam. beliau berkata kalau nyaris seluruhnya kategori malapetaka di Indonesia pula kedapatan di Sumatera Utara. Misalnya malapetaka hidrometeorologi bersimbah, Doni menyatakan buat senantiasa melindungi keserasian alam.
“kita memohon, tiap kali terlihat gerakan HKBP mampu memberikan pencerahan terhadap rakyat alhasil mereka mampu betul-betul mencermati perspektif daerah,” pesannya.
Lebih lanjut, Doni yang pula pemandu perangkat peran pengendalian Covid-19 menyatakan kalau kawasan – kawasan yang berakibat besar mampu mencermati perspektif daerah alhasil terlepas dari malapetaka, semacam banjir, banjir bansertag, tanah runtuh serta angin puting beliung. Doni memeragakan buat wilayah semacam Kota lapangan, Langkat serta Asahan.
Di arah lain, semacam kondisi guncangan planet serta tsunami, Doni pula memaknakan perihal utamanya pemahaman rakyat buat melaksanakan penghindaran serta kesiapsiagaan. beliau mengambil ilustrasi kemampuan guncangan serta tsunami yang mampu terjalin di Pulau Nias. Pulau ini sempat separuh kali terakibat guncangan serta tsunami yang merenggut korban jiwa serta harta barang.
“merangkai agenda kontinjensi, agenda terjepit kalau terjalin tsunami. supaya segenap infrastruktur di Nias serta kurang lebih yang berakibat mampu menyiapkan dengan positif,” tuturnya.
Menurutnya gereja mempunyai kapasitas buat membuat komunitas serta rakyat dengan cara lebar dalam membuat resiliensi dalam didapati malapetaka. perihal itu mampu diperoleh serta dipelajari dari pengalaman serta kecendekiaan rakyat setempat ataupun rakyat lokal lain.
Dalam paparannya, Doni pula menyatakan buat hidup kesesuaian dengan alam, salah satunya dengan penanaman tanaman. beliau mengamanatkan penanaman ini wajib berkembang dari pemahaman rakyat. dengan penanaman tanaman, insan tidak cuma memperoleh pangestu ilmu lingkungan tapi pula ekonomi.
beliau menutup, HKBP diharapkan mampu sebagai tokoh dalam komunitas buat kelestarian alam serta afeksi kemalapetakaan, spesialnya di Sumatera Utara.
tragedi bikinan insan yang terbanyak di Indonesia terjalin pada 29 Mei 2006 selagi hardikan lumpur panas tiba-tiba timbul ke dataran. sampai ketika ini, hardikan lumpur panas sedang bersinambung serta mengacapi sampai 16 dusun, mendesak kurang lebih 50.000 penduduk buat mengungsi dari rumah mereka. Dalam persoalan ini, malapetaka yang terjalin menimbulkan mimik muka fatalistik agama pada rakyat yang sebagai korban
“Dalam suasana sistemis keberdayaan dari lumpur Lapindo, mimik muka kepasrahan dari para korban Lapindo terhadap Tuhan banyak dijumpai. Dalam kondisi korban, kepasrahan terhadap Tuhan ialah opsi strategi coping biar senantiasa kokoh dalam suasana ketidakberdayaan sistemis,” tutur dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Fuad Faizi, ketika mencontoh tentamen terbuka program pakargelar, Selasa (18/10) di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM.
Dalam didansinya, Fuad mengobservasi macam apa pemahaman agama memutuskan jawaban dalam kondisi pengembalian lumpur Lapindo dalam kerangka kerentanan (vulnerability) dan kelentingan (resilience). Dalam kondisi bencana, ada kontras pikiran berkorelasi dengan tatanan pemahaman fatalistik agama bencana. Di satu arah, perihal itu didapati hendak menimbulkan jawaban melempem serta, pada gilirannya, hendak meninggikan kerentanan. Di arah lain, di tingkatan individu, dogma fatalistik semacam style menunda serta pemahaman kalau Allah mengatur seluruhnya didapati profitabel lantaran mampu kurangi stress serta keresahan serta membentengi keberfungsian individu, paling utama dalam suasana di mana tidak ada apa-apa ataupun sungguh sedikit yang orang mampu lakukan.
“kendatipun kepasrahan fatalistik tidak membongkar kasus kerentanan mereka dengan cara jelas, tetapi paling tidak itu mampu melawan dampak mental mengarah tingkat lanjut yang lebih berat yang cuma hendak memperparah suasana ketidakberdayaan mereka,” jelasnya.
bertentangan dari prinsip fatalistik yang memberitahukan kalau agama menekan korban buat melaksanakan sedikit perihal buat menyelamatkan diri ataupun memperbaiki diri dari bencana, riset yang dijalani Fuad memperlihatkan kalau korban melaksanakan seluruh sebuah yang mereka mampu, dekati mereka mendapatkan diri mereka terperangkap dalam kesuntukan serta kekosongan. Dalam persoalan Lapindo, ia memaknakan, malah negaralah yang sebagai penyokong penting kerentanan mereka.
“penguasa Indonesia tidak menimbulkan ekspresi, tetapi jawaban yang tidak jelas itu pernah menciptakan serangkaian kesuntukan yang melemahkan korban serta orang-orang yang bersemayam di wilayah rawan. perihal ini tidak memelikkan kalau korban mengangkut suara mereka terhadap Allah,” tutur Fuad.
Fuad menekankan kalau di negeri semacam Indonesia, keahlian buat memahami kedudukan agama buat menunjang kapasitas resilience sungguh dibutuhkan, serta pendetuturn berplatform agama berarti buat diintegrasikan dalam merespons dampak bencana. beliau menanggapi kalau tindakan agama yang sama serta memercayakan pada kepasrahan mampu memberikan faedah untuk Lapindo serta negara. Dalam suasana di mana pemerintah tidak memberikan sumbangan positif alhasil menciptakan suasana yang tidak kontributif serta rentan buat hak dan keamanan korban, aspek Tuhan sebagai pilihan yang lebih efisien dalam meninggikan resilience korban.
“Kepasrahan fatalistik terhadap Tuhan wajib ditinjau lebih selaku kapasitas, bukan kelemahan. Dengan kata lain, aku berasumsi kalau kepasrahan terhadap Allah wajib diatur selaku modal sosial dari rakyat agama, bukan selaku kasus sosial yang wajib dihilangkan,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)
buletin terikat