Memahami Perbedaan Pendapat dalam Bingkai Persatuan Umat

Perbedaan pendapat  / kesimpulan  dalam segala sesuatu secara metodologis merupakan hal yang wajar dan tidak perlu disikapi berlebihan. Perbedaan tersebut dapat bersumber dari perbedaan data, penalaran atau proses penyimpulan

Jakarta, www.istiqlal.or.id – Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala. Pada kesempatan Jumat kali ini saya mengajak diri sendiri dan jamaah yang dirahmati Allah untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena taqwa inilah sebaik-baik bekal yang akan kita bawa kembali kepada Allah dalam keadaan ridha dan diridhai Allah subhanahu wata’ala, insya Allah.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2: 197, artinya sebagai berikut.

Artinya: “… Dan berbekallah, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku wahai orangorang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197).

Shalawat dan salam kita selalu sampaikan kepada junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, teladan kehidupan kita hingga akhir hayat nanti. Demikian pula kepada keluarga Beliau dan para sahabatnya mulia.

Allah subhanahu wata’ala berfiman di dalam QS. Al-Hujurat/49: 13, artinya sebagai berikut.

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat/49: 13)

Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita semua umat manusia, secara fisik dalam dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, dan ini adalah perbedaan jasad yang mendasar bagi umat manusia, yang kemudian melahirkan perbedaan-perbedaan selanjutnya, seperti suku (etnis) dan bangsa.

Inilah perbedaan yang sudah menjadi sunnatullah, sudah menjadi takdir Allah subhanahu wata’ala dan tidak ada yang bisa merubahnya. Dari perbedaan jasad ini akan ada manusia yang tercipta sebagai laki-laki dan ada juga yang terlahir sebagai perempuan. Bentuk fisiknya ada yang gagah, tampan serta ada yang cantik jelita. Ada juga yang sebaliknya menurut perspektif manusia. Semua lahir memiliki perbedaan jasad karena kehendak Allah subhanahu wata’ala yang tidak bisa kita tolak.

Dari sana manusia lahir dalam komunitas suku (etnis) yang berbeda-beda bahasa, adat dan tradisi budayanya. Dalam kawasan geografi yang lebih luas juga tercipta bangsa dan negara yang berbeda-beda pula. Dalam setiap komunitas suku dan bangsa tersebut juga masih ada perbedaan strata sosial, ekonomi, ilmu dan pengetahuan.

Ada yang menjadi rakyat biasa dan ada pula yang menjadi bangsawan dan tokoh, ada yang hidup miskin berkekurangan dan ada juga yang kaya berkecukupan, ada orang awam, ilmuwan, cendekiawan, atau alim ulama. Ini adalah perbedaan yang merupakan realitas sunnatullah dan sudah menjadi tabi’at kehidupan.

Dari sisi keilmuan dan pengetahuan pun bisa melahirkan berbagai perbedaan kepahaman atau perbedaan pendapat tentang berbagai hal dalam kehidupan termasuk dalam pemahaman dan praktek keagamaan khususnya dalam agama kita, Islam.

Perbedaan Merupakan Suatu yang Wajar

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah. Perbedaan pendapat dalam kebaikan dan syariat adalah sesuatu yang sangat wajar terjadi karena merupakan keragaman berfikir para ahli ilmu dalam memahami suatu masalah dengan sumber-sumber ilmu yang dimilikinya dan dengan kondisi lingkungan dan zamannya masing-masing.

Dalam sejarah Islam, sejak zaman sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tabi’in dan tabi’ tabi’in sudah terjadi berbagai perbedaan pendapat (ikhtilaf) khususnya dalam masalah cabang-cabang agama (furu’iyah).

Bahkan di zaman Rasulullah masih hidup sekalipun, para sahabat sering berbeda pendapat dalam menyikapi perintah agama baik dari Al-Qur’an maupun dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu contohnya adalah perbedaan pendapat sahabat Nabi dalam suatu perjalanan ke perkampungan Bani Quraizhah dimana Nabi berpesan kepada kafilah sahabat agar tidak shalat ashar sebelum sampai ke perkampungan Bani Quraizhah.

Rasulullah bersabda, “Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari).

Dalam perjalanan sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizhah, tiba waktu shalat Ashar sehingga ada sebagian sahabat melaksanakan shalat Ashar karena jarak perjalanan yang tersisa masih jauh dan menurut mereka waktu shalat ashar akan habis sebelum mereka tiba di perkampungan Bani Quraizhah, karena mereka berpendapat bahwasanya dalam Al-Qur’an shalat itu harus sesuai waktunya.

Tapi sebagian sahabat Nabi yang lain tidak melakukan shalat ashar sebelum tiba di perkampungan Bani Quraizhah seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan benar saja kafilah pasukan sahabat Nabi sampai di perkampungan Bani Quraizhah sudah lewat waktu magrib. Atas kejadian ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan kedua ijtihad sahabat-sahabatnya tersebut karena semua mendasarkan kepada Al-Qur’an dan Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Demikian pula di masa sesudahnya, para Ulama yang memiliki ilmu yang mendalam tentang syariat Islam memiliki banyak sekali perbedaan pendapat dalam menyikapi suatu masalah yang sama, sehingga melahirkan beberapa kelompok-kelompok pemahaman (fiqh syariah) yang disebut mazhab (jalan berfikir tentang hukum syariat) atau metode (manhaj) yang terbentuk dari pemikiran, penelitian dan kajian hukum, dalil dan sumber-sumber ilmu lainnya tentang suatu hal yang jelas batas-batas dan bagian-bagiannya dalam syariat Islam.

Perbedaan pendapat para Ulama yang terbentuk dalam beberapa mazhab dan manhaj tersebut sesungguhnya merupakan keluasan dan keluwesan syariat Islam dalam kehidupan pada setiap situasi tempat, lingkungan dan zaman yang berbeda. Imam Syafi’i rahimahullah pernah memiliki pendapat yang berbeda dari pendapatnya sendiri pada saat Beliau di Baghdad, dan setelah Beliau berpindah ke Mesir.

Perbedaan pendapat Imam Syafi’i tersebut dikenal dengan istilah Qaulul Qadim wa Qaulul Jadid. Dalam bukunya Fiqhul Ikhtilaf (Fikih Berbeda Pendapat) Dr. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan defenisi, kaidah, prinsip dan tata cara suatu amal ibadah atau cabang-cabang ilmu agama lainnya yang sesungguhnya masih berada dalam bingkai Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ para sahabat dan ulama-ulama salaf (terdahulu) sehingga di antara mereka tidak saling berpecah karena perpedaan pendapat tersebut.

Bahkan para ulama tetap menjaga agar pendapat mereka tidak menyebabkan perpecahan umat karena itu akan melanggar perintah Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 103, yang berbunyi:

Artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran/3: 103).

Hikmah Perbedaan Pendapat

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah. Perbedaan pendapat yang merupakan keragaman berpikir haruslah konteksnya dalam urusan kebaikan dan implementasi syariat. Karena hikmah perbedaan pendapat dalam kebaikan antara lain adalah:

  1. Agar kita bisa berlomba-lomba dalam kebaikan, siapa yang paling baik amalnya.

Artinya: “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan…” (QS. Al-Baqarah/2: 148).

  1. Agar kita bisa saling membantu dalam kebaikan dan taqwa (ta’awun/kolaborasi)

Artinya: “Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan saling tolongmenolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Q.S Al-Maidah/5: 2)

  1. Agar kita bisa saling menghormati dalam kehidupan (tasamuh atau toleransi)

Artinya: “… Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati” (QS. Al-Baqarah/2 :139).

  1. Agar kita bisa mendapatkan kemudahan dan kesuksesan dalam kebaikan

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah/ 2:185)

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah. Kesimpulan khutbah pada hari ini adalah dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam praktek syariat Islam demi persatuan umat agar kita mengikuti prinsip yang disampaikan oleh ulama mujtahid Syaikh Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid, yaitu:

Artinya: “Kita bekerjasama dalam hal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal yang diperselisihkan.”

Perbedaan pendapat dalam niat kebaikan akan melahirkan persatuan dan itu akan mendatangkan Rahmat dari Allah subhanahu wata’ala. Perbedaan pendapat dalam niat keburukan akan melahirkan perpecahan dan itu akan mendatangkan laknat dari Allah subhanahu wata’ala. Semoga Allah senantiasa merahmati kita semua. Aamiin. (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)

Imam Safi’i mengemukakan bahwa : Pendapatku benar, tetapi memiliki kemungkinan untuk salah, sedangkan pendapat orang lain salah, tetapi memiliki kemungkinan untuk benar. Pendapat bijak tersebut menunjukkan, bahwa kebenaran itu relative dan tidak mutlak.

Adanya perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, terkadang menimbulkan kesan, seolah terjadi pertentangan diantara dua Lembaga negara. Meskipun pendapat atau kesimpulan tersebut masing-masing telah melalui proses metodologis, tetapi tetap saja bagi yang tidak paham menimbulkan kesan seolah dasarnya adalah suka atau tidak suka.

Contoh : Biasanya orang yang melakukan kejahatan pasti dihukum. Pernyataan ini benar apabila terbukti benar. Sedangkan dalam hukum, tidak selalu orang yang perbuatannya memenuhi unsur tidak pidana dapat dijatuhi hukuman. Dalam hukum dikenal dengan alasan pembenar dan alasan pemaaf, mungkin juga ada upaya membela diri maupun situasi dan kondisi yang terpaksa harus berbuat “demikian”. Kemungkinan lain perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, melainkan perbuatan hukum perdata.

Perbedaan pendapat menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah / kasus tidak dapat dilakukan generalisasi. Setiap masalah / kasus memiliki karakteristik yang berbeda / kasusistik. Apabila melakukan generalisasi terhadap suatu masalah / kasus yang substansinya terdapat perbedaan perbedaan maka akan melahirkan kesesatan. Premis mayor kemungkinan benar, pengujian terhadap premis minor yang harus sangat hati hati, karena berpengaruh pada konklusi atau kesimpulan.

Perbedaan pendapat / kesimpulan dalam segala sesuatu secara metodologis merupakan hal yang wajar dan tidak perlu disikapi berlebihan. Perbedaan tersebut dapat bersumber dari perbedaan data, penalaran atau proses penyimpulan. Perbedaan juga dapat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kearifan local. Perbedaan juga dapat timbul dari sudut kepentingan maupun tujuan yang tersembunyi.

Suatu hal yang harus dipahami, bahwa perbedaan pendapat / kesimpulan harus tetap memberikan ruang untuk dilakukan pengkajian secara obyektif. Salah benar bukanlah yang menentukan, tetapi proseslah yang seharusnya menjadi kajian akademis. Kesimpulan bukan merupakan jawaban terakhir yang bersifat absolut, melainkan merupakan hipotesis yang selalu membuka ruang untuk pengkajian demi memperoleh kebenaran hakiki.

Perbedaan pendapat / kesimpulan harus tetap dihargai dan dihormati sepanjang telah dilakukan usaha dengan sangat bersungguh-sungguh menggunakan semua kesanggupan dalam menetapkan suatu hukum ( ijtihat). Terjadinya perbedaan pendapat menunjukkan adanya dinamika berfikir , menunjukkan ekesistensi dan mendorong pengembangan ilmu pengetahuan serta perbedaan pendapat adalah rahmat yang harus disyukuri.